BEM FB UNISSULA

Rabu, 03 Maret 2010

RENCANA PROGRAM KERJA BEM FB DI BULAN MEI

“Diskriminasi antara guru SWASTA dan GURU PNS”

Terbitnya Undng-undang Nomor 14 Tahun 2005 mendorong upaya bagi perbaikan nasib guru. Namun implimentasinya masih jauh dari harapan, terutama bagi guru swasta. Nuansa diskriminatif antara guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan guru swasta yang mengajar di sekolah swasta dibawah yayasan sangat menonjol.
Mengenai nasib guru antara lain menyangkut dua hal penting, yakni soal kesejahteraan dan perlindungan hukum. Undang-undang yang semula dianggap membawa harapan besar bagi peningkatan profesionalitas guru yang berimplikasi pada tingkat kesejahteraan guru, ternyata hanya memperlebar kesenjangan diantara para guru menurut status kepegawaian.
Hingga saat ini masih ada diskriminasi antara guru pegawai negeri sipil (PNS) dan guru swasta. Guru negeri selalu saja mendapat tempat di hati pemerintah. Ia "dimanja" dengan berbagai fasilitas, dari kenaikan gaji, kemudahan naik pangkat dan golongan, hingga tunjangan melalui sertifikasi. Sebaliknya, hak-hak guru swasta selalu saja dikebiri. Alih-alih mendapat fasilitas, kesempatan mendapatkan haknya menjadi PNS pun dihalang-halangi. Sebagaimana terjadi baru-baru ini, yaitu kesempatan guru atau tenaga honorer swasta menjadi calon PNS lewat seleksi khusus dinilai dipersulit. Pasalnya, pemerintah hanya bersedia mengangkat guru honorer di Sekolah Negeri atau Swasta menjadi guru PNS jika selama ini mereka digaji lewat APBN/APBD.
Protes tentang aturan yang hendak disahkan pemerintah soal pengangkatan tenaga honorer menjadi calon PNS tersebut datang dari guru-guru di berbagai daerah yang tergabung dalam Ikatan Guru dan Pegawai Sekolah Swasta di Jakarta, Selasa (Kompas 17/11 2009). Para guru honorer di sekolah swasta itu menilai rancangan peraturan pemerintah soal seleksi tenaga honorer, termasuk guru honorer, untuk dapat diangkat menjadi calon PNS dinilai menutup peluang guru honorer swasta yang sudah mengajar dari belasan hingga puluhan tahun (Kompas, 18 November 2009).
Selain itu, guru swasta pun harus menerima gaji yang jauh lebih rendah daripada guru PNS. Seorang guru swasta di Sukoharjo hanya mendapatkan gaji Rp 200.000 per bulan. Bahkan, ada seorang guru swasta yang pagi mengajar serta siang dan sore menjadi buruh cuci piring.
Belum lagi masalah kuota sertifikasi guru yang diskriminatif (75 persen untuk guru PNS dan 25 persen untuk guru swasta). Padahal, sebagaimana kita ketahui bersama, di negeri ini masih banyak guru berstatus honorer, bahkan tanpa digaji mendidik anak bangsa agar dapat membaca, menulis, berhitung, mengenal dirinya sendiri, dan lingkungan sekitar (mandiri).
Jika konsisten dengan data di atas, sudah seharusnya jatah guru swasta dalam sertifikasi berimbang antara guru swasta dan guru PNS. Kalaupun guru swasta lebih diprioritaskan, itu pun wajar. Hal ini mengingat gaji guru swasta masih jauh dari standar hidup layak. Dengan lolos sertifikasi, seorang guru swasta akan dapat hidup layak setidaknya sejajar dengan guru PNS.

Jika kita menilik sejarah, bangsa ini didirikan oleh guru swasta. Sebut saja, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Jenderal Sudirman, Soekarno, Hatta, dan seterusnya. Pendek kata, guru swasta adalah pahlawan sejak ada sekolah di republik ini.
Diskriminasi yang dilakukan pemerintah saat ini hanya akan semakin mengerdilkan fungsi dan peran guru swasta dalam mendidik bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan berdiri tegak tanpa peran serta guru swasta.
Diskriminasi ini juga bertentangan dengan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menegaskan, fungsi dibentuknya pemerintahan di antaranya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dipertegas pada Pasal 31 UUD 1945, tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan, termasuk di dalamnya mengatur soal anggaran pendidikan. Guru adalah pilar utama pendidikan. Manakala sekelompok guru diperlakukan berbeda, yaitu guru swasta pada posisi marjinal, pemerintah berlaku diskriminatif.
UUD 1945 hasil rumusan pendiri negeri ini sebenarnya mengatur kesamaan hak warga. Pun demikian dengan hak warga akan pendidikan yang mencakup hak guru. Namun, hak guru swasta direduksi, dari tataran undang-undang, peraturan pemerintah, sampai tataran implementasi yang merupakan produk pemerintah (eksekutif dan legislatif). Kesenjangan yang langgeng dan semakin lebar seakan sengaja dibuat (Sumarno: 2009).
Guru swasta bukanlah "buruh" yang tenaga dan pikirannya dapat diperas untuk memuaskan nafsu pemerintah. Ia juga tidak butuh gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi guru swasta hanyalah hiburan di tengah ketidakberdayaan. Sebutan ini juga sepertinya digunakan (alat) oleh pemerintah agar guru tidak banyak bersuara dan melakukan protes. Sebutan ini sepertinya dikonstruksi sedemikian rupa agar tugas guru adalah mendidik tanpa mendapatkan gaji layak. Yang patut mendapatkan kenaikan gaji hanyalah guru yang mengabdikan diri sebagai "hamba negara" (PNS).
Guru swasta cukuplah dengan penyebutan "digugu dan ditiru". Maka, tidak aneh jika sekarang demonstrasi yang dilakukan guru swasta agar hak-hak mereka disamakan marak digelar. Mereka menuntut kenaikan gaji. Mereka juga menuntut segera di-PNS-kan jika pemerintah tetap tidak mau menyejahterakan guru swasta.
Guru swasta memang harus tetap bersabar dan terus menunggu kehadiran "semar", pemimpin bijaksana yang mau melihat realitas dengan nyata. Guru swasta juga harus terus berpuasa dan menahan keinginan (kebutuhan) hidup yang mendesak. Kemiskinan akan terus menghantui setiap tidur mereka. Anak-anak mereka akan tetap menangis karena kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Guru swasta juga manusia. Mereka butuh kesejahteraan dengan gaji layak. Hal ini karena mereka juga pendidik bangsa. Bahkan, keberadaan mereka lebih tua daripada usia negeri ini.
Pemerintah harus berperilaku adil terhadap guru. Artinya, tidak membedakan guru swasta dan guru negeri. Jika pemerintah masih saja berpegang teguh pada pendiriannya bahwa guru PNS harus sejahtera dan guru swasta dimiskinkan, kehancuran negeri ini akan semakin dekat. Hal ini karena pemimpin negeri ini lalim dan menyia-nyiakan guru swasta yang notabene adalah pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia (Benni Setiawan: 2008).
Pada akhirnya, sudah saatnya diskriminasi ini diakhiri. Tentunya kita tidak ingin menyaksikan arwah pendiri bangsa yang notabennya adalah guru swasta menangis pilu di alam baka melihat generasi penerusnya bergelimang kemiskinan dan kedukaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar